This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 30 Juli 2012

Untuk Kata

Aku membuka layar netbook ku yang sudah berdebu di pagi ini. Entah sudah berapa hari, atau bahkan minggu aku tidak menyentuhnya. Tidak ada alasan khusus tidak bersinggungan, seperti waktu yang menghimpit, atau netbook yang sakit. Hanya rasanya, aku merasa tidak ada alasan kuat untuk sekedar menyentuhnya, bahkan meliriknya pun enggan.

Ini bukan membahas tentang aku dan netbook ku. Bukan pula membahas aku yang berniat menceraikannya dan memilih yang baru. Aku ingin menyinggung sedikit tentang kemalasanku, keenggananku untuk Menulis. Argh, aku merasa seperti ada yang hilang ketika aku berhenti menuangkan pikiran. Bahkan di twitter pun rasanya hanya menulis status "saya ada disini.. Bla..bla..bla..." Bukan berupa ide, bukan berupa anak pikiran yang siap berbuah. Apa itu berarti aku telah berhenti berpikir? Berhenti mendalami akan sesuatu? Bukankah tulisan yang selama ini seolah membuatku "hidup"? Aku mulai prihatin dengan diriku sendiri.

Banyak peristiwa, banyak kejadian, banyak sekali hal yang telah terlewatkan dari pandangan. Aku menyadari di titik ini sekarang kalau kemandeg'an ku membuatku berhenti berproses. Aku juga meyakini, musibah ini terjadi karena aku sudah merasa puas dengan yang ku dapat sampai melupakan kekasih lama, buku. Wah, ternyata aku sudah terlalu sombong.

Maka, sekarang, di saksikan netbook ku yang masih membisu, ku teriakkan sumpah dalam hati untuk mengabdikan hidupku untuk kata. Untuk berproses, untuk selalu bermetamorfosis. Untuk selalu berdaya. Dengan mendayagunakan kata yang membuat nadi dan pikiranku tak lagi mati suri.

Hidup, dan menghidupi.
Rasa, dan merasai.

Untuk Kata...


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Minggu, 17 Juni 2012

Merindu

Aku tersayat tiap jarum berdetak. Mengoyak asa yang mengharu biru menusuk kalbuku yang mulai beku. Dan sebelum detaknya menjadi penanda kehidupan yang telah mematikanku, aku tersungkur khidmat dalam alunan kidung syahdu yang melenakan. Yang membuka tabir-tabir kesadaran baru yang sebelumnya aku tutupi rapat-rapat. Getir aku merasakan akalku mulai berdistorsi seenaknya sendiri. Ah, biarlah... Dia melaju seenaknya. Karena hatiku sepertinya sudah putus urat dengan akalku. Maka biarlah, kukunci mati rinduku. Biar tetap kurasakan indah, mencintamu yang terindah.

Sabtu, 16 Juni 2012

Hujan di Langit Jakarta

Pagi ini begitu menakjubkan. Aku buka jendela kamar-ku yang berselimut kabut. Sangat mengherankan menemukan kabut di belantaran jakarta. Titik-titik embun bertengger pada dedaunan yang hijau. Udara segar menyergap-ku saat membuka pintu balkon. Tuhan sedang mengajak-ku bercanda. Bahkan aku bisa melihat semburat-semburat pelangi di langit jakarta yang cerah.

Air menghujani jakarta tadi malam. Banyak sekali yang aku dalami dari palung-palung dalam disituasi yang begitu biru. Aku menelisik setiap maksud hati. Tentang hidup, tentang mati, tentang sebuah nyawa dan proses melewatinya. Aku bertanya tentang alam yang mendukung setiap langkah-ku. Seakan lewatnya lah doa-doa ku dikabulkan. Aku mempertanyakan malam yang dengan kerelaan hati bersepakat dengan mendung. Mengorbankan pijar-pijar bintangnya tersembunyi dalam balutan kelam.

Hujan, membantu-ku juga mendinginkan hati ku. Memberi kesejukan yang tiada tara dalam sebuah kerinduan yang mistis. Aku harap, aku juga bisa menemukan hujan di saat kemarau sedang hinggap menusuk-nusuk setiap malam. Hujanku akan segera datang, bukankah begitu, sayang...
Dan pelanginya akan segera merona di wajah kita yang sedang terbius rindu...

Engkaulah hujanku....

Selasa, 05 Juni 2012

Distorsi Yakin


Ada seorang teman yang tiba-tiba bertanya, apa itu keyakinan? Bagaimana kah kita dikatakan yakin? Apakah wujudnya dan bagaimanakah membentuknya agar membuat sebuah pola dalam diri kita dan kita bisa menjiwainya?

Pertanyaan tersebut mungkin sebuah pertanyaan yang wajar di kehidupan kita yang segala maknanya semakin absurd. “Yakin”, seperti kata-kata lain yang bernasib sama, juga mengalami pendistorsian yang dimaksudkan agar tetap sejalan dengan cara pelaku medefinisikannya. Jika menyinggung kata itu, seakan jarring-jaring di akal kita langsung menangkap makna ‘agama’. Keyakinan adalah Agama. Agama kita didefinisikan seberapa besar keyakinan kita. Begitukah?? Bila benar demikian, maka pertanyaan selanjutnya adalah, “apa itu agama?”. 

Banyak dari kita yang menyebut bahwa agama adalah petunjuk hidup yang menyambungkan manusia dengan Tuhan. Agama adalah tata surya sekaligus berupa partikel ataupun molekul kecil. Agama mengejahwantai semesta. Agama di definisikan begitu suci dan megah. Maka ketika kita menyandingkannya dengan keyakinan, maka keyakinan menjadi sebuah barang mahal untuk diresapi. Dogma-dogma dalam sosial dan budaya kita meminta kita tunduk dan patuh terhadap sesuatu yang disebut agama. Tanpa boleh kita belajar meyakini dengan cara kita, dengan kedalaman proses berpikir kita, dengan perlahan-lahan perkembangan ilmu kita. Kita hanya boleh yakin dan percaya. Entah itu dengan cara melakukan yang di syari’atkan, ataupun melakukan yang disunnahkan. Hanya boleh dilakukan. Tanpa boleh banyak cingcong. Titik.

Jika akhirnya ada yang bertanya pada kita, apakah kamu yakin dengan agama-mu, maka kita dengan lantang-nya akan menjawab “Aku Yakin!!”. Tapi benarkah? Tidak bermaksud menyepelekan agamanya, yang digaris bawahi di sini adalah manusia-manusianya. Benarkah yakin? Benarkah percaya? Benarkah benar-benar mengimani? Atau kepercayaan dan keimanan kita tak ubahnya ibu dan bapak yang mengaku mewariskan darahnya ke kita. Hanya karena kita tinggal seatap, hanya karena kita dilimpahi kasih sayang, hanya karena kita mendapat pengakuan atas keberadaan kita, Dan kita sudah begitu yakin dengan asal-usul kita. Begitu piciknya kah sebuah keyakinan, yang jikalau begitu, begitu mudah kita merekayasanya?

Pada kenyataannya, keyakinan dalam bentuk apapun dibentuk dari sebuah keraguan. Tanpa adanya ragu tidaklah mungkin ada yakin. Bagaimana bisa kita percaya pada kenyang, jika kita tidak pernah merasa lapar? Tidak mungkin ada kotor, jika sebelumnya tidak ada bersih. Yakin, tidak serta merta tercipta. Begitupulah agama. Jika kita meyakini dan mempercayainya hanya karena proses pewarisan, maka sebenarnya yang kita yakini bukan Tuhan maupun agamanya, tapi pembawa warisanlah yang sudah kita yakini. Jadi masihkah mensabda sebagai orang yakin??

Yakin dibentuk oleh keragu-raguan yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Dari situlah kita akan memperoleh jawaban-jawaban yang mengukuhkan hati kita menjadi yakin. Maka kembali ke diri kita masing-masing, sudahkah kita meragukan tentang suatu yang begitu kita percayai? Dan dengan pikiran netral kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam hingga kita berproses dalam menemukan jawaban-jawabannya? Jika belum, kita perlu mempertanyakan lagi keyakinan kita. Jika sudah, terus-meneruslah bertanya dan mempertebal keyakinan. Karena sesungguhnya, yakin itu berdenyut. Dia hidup. Dan oleh karena itu, dia bisa pelan-pelan sekarat, dan mati. Dan dari kematiannya, akan lahir sebuah anak keyakinan baru. Sesungguhnya pertanyaan lahir dari sebuah akal yang diberikan Tuhan. Sesungguhnya, dari anjuran membaca saja, Tuhan ingin kita melalui proses pencarian yang akan membentuk keyakinan. Jadi sahabat, selamat beryakin-yakin! Karena Yakinmu, sesungguhnya adalah Bola Matamu.

Pare, 24 Mei 2012

Minggu, 03 Juni 2012

Dear Masa Depan....

Dear diriku di masa depan,

Hai, bagaimana kabarnya? Apakah kau di sana sebaik aku di masa ini? Aku harap kau semakin baik dan aku juga berharap aku tidak membuat keputusan yang menyulitkanmu di masa depan.

Apakah kau tahu, dirimu disaat ini sedang banyak mengalami tantangan-tantangan hidup yang sudah diramalkan oleh dirimu di masa lalu. Dan aku yang sekarang, sedang semangat-semangatnya belajar tentang arti kehidupan, tentang bagaimana sebuah proses dapat bertahan, dan bagaimana tetap tegar di masa-masa paling sulit sekalipun. Dirimu di masa ini juga sedang banyak bergelut dengan hal-hal yang pasti akan mempengaruhimu di masa depan. tapi engkau jangan sekali pun kawatir, karena aku pasti melakukan sesuatu, sesuai dengan nilai-nilai yang telah kita sepakati. Bukankah begitu?

Aku ingin, nanti saat kau membaca ini, tantangan-tantangan yang tengah aku hadapi sekarang sudah menjadi hal yang kau syukuri. Aku berharap kau akan menemukan berkah dan pelajaran yang pasti akan sangat berarti buat kehidupan kita kelak.

Aku menyayangimu... untuk itulah aku bertahan sampai sejauh ini...
Suatu hari nanti, jika kau menemukan tantangan-tantangan baru, bertahanlah... hadapilah... berjuanglah...
Kau akan banyak menemukan hal yang akan membuatmu tersenyum lebar....

Percayalah padaku...
Kau akan membuktikannya sendiri nanti...

Dari yang teramat menyayangimu...

Nina -2012-

Minggu, 20 Mei 2012

Insane

apakah masih di sebuat asa jika angkuh
jiwa-jiwa mulai terbelenggu
bersenggama dalam kelam
bermuara dalam rapuh
tersesat di negeri antah berantah

ada yang salah dengan indah
jika damai di lejitkan dalam metafora
keyakin tak lagi nyata
dan angan dipenjara dalam denyut abadi
persengkongkolan antara membatu dan melebur

enyahlah...
sebelum api padam
sebelum arang jadi abu
sebelum mayat berenkarnasi

:adalah
sebelum terlambat, sayangku...


Pare, di sebuah bilik.

Selasa, 01 Mei 2012

Orang-orang "Pilihan"

Mendengar kata "pilihan", benar-benar membuatku muak. Seorang teman baik berkata, bahwa dia dan golongannya adalah orang-orang "pilihan" karena melakukan sesuatu yang tidak dilakukan orang lain. Merendahkan orang, seolah derajatnya lebih tinggi dari yang lain. Bah!!! Ingin aku muntah!!

Belum berakhir teman... Masih jauh kau mengkultuskan dirimu setinggi itu. Terlalu dini... Sesungguhnya kata "pilihan" yang kau pilih untuk membedakan dirimu, hanya menunjukkan seberapa dangkal ilmu mu.


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Senin, 30 April 2012

D.O.A

Tubuh yang mendoa pun bisa jadi tubuh yang paling munafik
Berselimut kabut, tapi mengaku memiliki cahaya
Bergelimang nista, tapi mensabda diri paling mulia
Hanya karena berbeda bahasa, kau menyebut yang lain hina

Menyalahi tubuhnya yang berkitab
Lupa bahwa panca indranya juga berkitab
Membohongi tindak tanduk yang juga berkitab
Memunafiki sekelebat pikiran yang juga berkitab

Kitab tubuhmu cerminan doa mu.
Diammu lebih mulia dari doa mu.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Minggu, 29 April 2012

Mimpi

Bergerak merangkak naik
Maju lari menggebu
Satu satu dan satu
Hingga ku capai seribu kali seribu

18.05
April 29, 2012
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Kamis, 26 April 2012

Dendang Pekat

Malam ini semakin menghitam, sepekat kopi yang kuaduk beberapa jam yang lalu. Mungkin karena tetesnya aku masih terjaga selarut ini, bagai seorang pasien yang menunggu obat mujarab untuk menyembuhkan sakitnya. Aku satu dari milyaran orang didunia yang percaya bahwa beban yg dipikulkan Penguasa lebih berat dari daya tubuh itu sendiri. Karena alasan itulah aku seperti seorang 'masochist' yang hobi menguliti kulit nya sendiri dan memainkan pisau diurat nadinya. Seakan bersiap untuk sebuah kemungkinan terburuk yang akan datang.

Tapi sisi kemalaikatan dalam jiwa yang terkoyak iman ini mulai bisa membisikkan alunan nada surga yang menenangkan. Meredam setiap cela untuk jatuh dan menjadi irama yang indah bagai background musik di setiap sinetron picisan saat sang pemeran utama menang. Aku bertarung dalam pertarungan sengit yang melelahkan. Melawan seorang penantang yang perkasa dibalik pantulan kaca wajahku sendiri. Bahkan biografi tubuh yang sudah selayaknya aku pahami, mulai tak lagi kukenali. Aku melawan sosok lain yang bersembunyi dalam tubuhku. Seolah bersemedi didalam sana membuatnya semakin kuat. dan aku mati-matian menarik nafas agar tak terputus perlahan. Aku dalam sosok itu begitu menakutkan. Seakan siap menggrogoti jiwa kewarasanku sedikit demi sedikit. Semakin aku bertahan, dia semakin besar. Semakin aku melawan, dia semakin bangkit.

Menalar kini aku dibuatnya. Menelisik semesta macam apa yang menghidup dan mematikannya!? Dan perlahan aku mulai menemukan beberapa jawaban yang tercerai berai.

Aku hanya perlu sumpah yang kokoh atas nama sebuah kejayaan. Sebuah janji murni akan kebahagiaan. Sebuah niat yang teguh yang akan menggoyakkan raksasa tak berperikemanusiaan. Aku akan memberantasnya habis.

Hingga aku bisa berdiri diatas kakiku sendiri dan menapak semua jalan didepan tanpa dihantui musuhku tadi.

Sekarang, aku siap.

Ayolah... Aku pasti Menang.!!!

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Rabu, 18 April 2012

Pernahkah kau?

Pernakah kau ingin mengucap kata, tapi tak bisa menemukan analogi apa yang bisa mewakili rasamu?

Pernakah kau tertawa dan menangis dalam satu waktu untuk suatu alasan yang kau sendiri tak tahu?

Pernakah kau mengangankan sesuatu, tapi kau tak juga menemukan yang kau tuju karena bayangan itu terlalu indah untukmu?

Pernakah kau menyimpan sebuah asa, yang membuatmu sesak napas dan hatimu bergetar sampai kau menggigil kedinginan?

Aku pernah, dan sedang menikmatinya.

Aku merasakan cinta.

:)

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Jumat, 06 April 2012

Pilih mana? Appearance or Intelligence

Aku sering sekali mendengar pertanyaan seperti itu di beberapa kelas speaking yang pernah aku ikuti, pun menjadi motion yang pernah kugunakan di kelasku sendiri. Dalam memilih pasangan hidup, faktor apa yang akan kau pilih? Penampilan? Atau kepintaran?

Banyak dari mereka yang mempunyai idealisme tinggi, akan memilih pilihan yang kedua. Yang lain, yang cukup jujur dengan dirinya sendiri, lebih suka opsi yang pertama.

Aku pun (yang sok idealis) memilih opsi yang kedua. Kepintaran, kecerdasan, atau apalah itu yang bersinggungan dengan otak dan intektualitas, merupakan harga mati yang harus didapat dari sosok seorang pasangan. Penampilan tapi kosong isinya is nonsense. Ah, jangan perdebatkan opiniku ini... :p

Lalu, aku mulai berpikir lagi, dengan apakah aku bisa mengukur kepintaran seseorang? Dengan sekumpulan soal matematika, ataukah dengan menyuruhnya berbicara panjang lebar tentang topik-topik yang ada di negara kita? Tentang gayus, tentang kenaikan bbm ataukah tentang es yg mencair di antartika?

Apakah ahli dan menguasai itu semua, maka seseorang dikatakan orang yang cerdas? Orang yang mengikuti perkembangan jaman? Orang yang intelek? Apakah cukup dengan itu?? Apakah nilai kepantasan seorang pasangan dinilai dari sana?

Akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan bahwa kejeniusan dalam hal yang aku bilang akademik tadi, tidak bisa menjadi ukuran akan berkembangnya akal seseorang. Karena aku akan memilih orang yang bodoh tapi mencintai ku dan keluargaku ketimbang seorang eksekutif yang tahu teori tapi tak tahu ilmu mengasihi. Aku akan lebih memilih seorang yang tampangnya biasa-biasa saja tapi bisa mengerti. Yang mungkin terlihat angkuh tapi mampu menunjukkan jalan yang harus kutempuh ketika aku mulai ragu. Seorang yang tidak tahu apa itu politik, hukum, ataupun perkembangan olah raga, tapi tahu cara memperlakukan ku dengan baik.

Idealismeku di runtuhkan oleh perkembangan kedewasaanku menilai sesuatu. Jika kau tanya sekali lagi, mana yang akan ku pilih, dengan senang hati aku akan menjawab,

Orang yang bijaksana.

Tak peduli nilai akademiknya.
Tak peduli paras wajahnya.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Cacing dalam kubangan

Aku tidak pernah mengira, jalan yang sudah aku rancang dengan sungguh-sungguh dan kebulatan tekad yang penuh harus berhadapan dengan suatu masalah yg tidak terprediksi kehadirannya. Aq menyukai tantangan. Dan aq adalah manusia yang cukup menyadari bahwa hubungan antar manusia adalah puncak dari segala kerumitan. Kerumitan yang pada awalnya sangat kuhindari, dan okelah, sepertinya aq harus ahli.

Aq keberatan jika dikatakan sebagai seorang melankolis yg begitu rapuhnya akan sesuatu. Aq terbiasa menyebut diriku korelis kuat yang teguh dan manut dengan semua mimpi yang telah kusepakati sendiri. Tapi tempat ini harus menjadi tempat penyiksaan batinku. Menamparku berkali-kali dengan perendahan ideologi yg begitu kusembah bagai seorang raja... Ah, sepertinya aku mengalami disfungsi otak sehingga aq, dengan waktu yang cukup lama, berkutat dalam kubangan kotor yang kuciptakan sendiri. Gila.

dan akhirnya sedikit kewarasan membuatku bangkit. Mengingat surga yang kubuat sendiri untuk hidup, dan mengingat, aku masih cacing yang berkutat di tanah yang sama. mengubur diri hidup-hidup.

Kewarasanku mengacu pada kesenanganku untuk tetap belajar. Kadang belajar benar, dan harus, kadang belajar salah. dan menerima ideologi-ideologi dari manusia lain sebagai warna dari kitab hidupku yang mungkin masih abu-abu.

Kadang, diam dan sedikit bicara, bisa sedikit membantu. Setelah itu, kubiarkan saja. Hancur.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Kamis, 09 Februari 2012

The Need for Reforming in Education

Education has an crucial part in Indonesia. Why I said so? It creates people that can be a hero, or even scum of society. Let take a look at Indonesia's society, how many beggars can we find? How many killers, robbers and their friend? It's so many, right? It proves that our education program still get trouble. There are several reasons why we need to reform our education curriculum and what it will impact if we still stand in our position today.

First reason, why Indonesia should change the point of view of the education, it could kill the students' creativity. Students here cannot choose their subjects. The government, by the curriculum, has already prepared it for them. During twelve years of their study, they do not have a right to choose what their interests are. It makes their perception stuck in the box. Moreover, it still uses teacher centered. Teacher is the subject in teaching-learning activity, and other hand the students are just the object that should be filled by system thought. Wearing uniform also the one which jails the students' creativity. They could not express their self cause their right showing their own characters curbed by the school rules. However, it will have a bad effect in their psychology point of view.

Making students stress is the second reason reforming education system. Could you imagine, students have to face twenty subjects every week! Twenty subjects which they should master all. However, the pupils also get a lot of homework. It seems that school regulation does not want to leave them even a minute. They will not have time to do something they like, build their hobbies, or just spend time not doing anything to refresh their mind. It is not a surprise, so easy we find suicide students. Based of a cup of problems, they kill their selves. It prove that our education create of high rate stress students.

It is the government responsible to take part of these problems. They should reform to solve the society problems caused by unstable system. I believe that we still have chance to create a better life by creating better people in education.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Jumat, 13 Januari 2012

Di sebuah persimpangan

Yah, itulah saya sekarang. Saya ada disebuah persimpangan yang begitu menyiksa batin saya. Seolah menelan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Sayangnya, saya tidak bisa memberikan buah itu pada monyet, dan membiarkan orang tuanya mati (jayus banget), sehingga saya harus menelan pahitnya sendiri.

Hey, ini tidak seekstrim akibat yang ditimbulkan buah simalakama. Orang tua saya tidak ada hubungannya dengan simpang yang harus saya pilih, dan semoga Allah memanjangkan umur mereka, Amin. Ini lebih mengacu pada sisi batin saya. Simpang satunya memuaskan dahaga, simpang satunya membuat saya kenyang. Aaaah.. Segalau itukah saya??

Sebenarnya jalan manapun yang saya ambil akan memberikan kebaikan pada saya, hanya kadang satu kebaikan menyimpan suatu efek yg tidak bisa dinikmati secepat saya memilih. Memerlukan proses yang mungkin tidak sebentar. Lalu, sanggupkah mereka menunggu? Sanggupkah saya bertahan???

Melepaskan pekerjaan untuk alasan pengembangan diri entah kenapa terasa sangat egois ditelinga saya. Betapapun saya mencintai murid saya, tapi entah kenapa keputusan untuk pergi terasa semakin bulat. Saya rasanya sudah berada di titik kulminasi kejenuhan tingkat tinggi. Eits, bukan jenuh mengajar atau bosan bertemu murid saya, tapi kejenuhan saya mengacu pada eksistensi diri yang semakin menurun. Ibarat sumur, air di badan saya sudah kering. Diri ini, ingin memberikan manfaat, tp apa daya, tenaga hampir habis.

Lalu apa yg bisa saya lakukan???

Inilah saya sekarang. Akhirnya simpang itupun saya tapaki. Pelan-pelan meninggalkan jalan lainnya dibelakang. Tp entahlah, sungguh berat kaki ini melangkah. Seakan berjalan ditumpukan paku yg siap mengoyak kulit. Perih.

Tapi saya sudah teguh. Karena saya janjikan diri ini akan kembali dengan versi yang lebih canggih, lebih hebat, lebih kuat. Berjanji akan mencari mata air baru untuk mengisi sumur yang hampir mati. Berjanji dalam hati bahwa kepergian ini tidaklah sia-sia...

Dan ketika ragu membuncah, saya hanya bisa menepisnya dengan Bismillah...

Semoga Allah meridhoi..

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Senin, 09 Januari 2012

Mengaudit Diri

Malam ini mata saya seakan ragu untuk memejamkan mata. Masih saja terbuka lebar meski badan rasanya remuk redam. Ah, pikiran saya tidak hentinya meraba, mencerna, mengurai satu-satu puzzle hidup saya yg mulai tercerai berai.

Tahun lalu adalah kumpulan dr sejuta harapan. Dan tahun ini adalah batas dr sebuah kebimbangan atas sebuah penantian. Masa depan.

Masa depan yang saya bicarakan disini bukan tentang apa yg saya dapatkan nanti. Tapi akan jadi apa saya nanti. Tentu, penantian tidak melupakan sebuah proses. Lika-liku hidup yang harus dilewati setiap nyawa. Ah, terlalu absurb saya sampaikan disini.

Besok, entah kenapa, saya merasa adalah awal dan sebuah akhir bagi sebuah penantian yang panjang. Mungkin masanya akan sebentar, tapi prosesnya akan memakan waktu yang belum saya yakin ujungnya. Bahkan ragu, masa itu akan berujung atau tidak. Entahlah...

Sedikit takut, saya berusaha memberanikan diri mengimajinasikan segala hal yang ingin dan akan saya lakukan. Hey, jangan meremehkan ketakutan saya, kadang sisi pengecut dlm diri saya membuat saya meragukan kempuan saya, bahkan kemampuan untuk bermimpi.

Di kotak yg penuh manusia ini, saya menjelajahi setiap detik yg terlewati. Mendeskribsikan satu-satu kemudian mulai menelaah, tentang suatu keanekaragaman nyata yang terbungkus kabut tak kasat mata. Tak mudah menemukannya dan menunjukkannya pada pikiran yg semakin rentan. Memaksa bawah sadar untuk menerima dan membawanya tinggal.

Lalu saya putuskan untuk berhenti sejenak berdiplomasi pada diri sendiri. Memutuskan berdamai dengan halusinasi. Masa depan hanyalah sebuah opsi yg sejujurnya tak akan pernah datang. Karena ia tak dapat dijabarkan awal dan ujungnya. Hanya bisa dijelajah dengan kekuatan mimpi dan sedikit optimasi.

Maka saya disini mulai meneguhkan diri. Untuk menerima diri hari ini, untuk belajar saat ini, untuk berkembang detik ini, untuk menjadi pribadi yg lebih baik setiap hari.

Karena saya menyadari, tidak akan ada masa depan tanpa adanya masa sekarang. Masa depan adalah keputusan-keputusan yang saya ambil saat ini. Masa depan adalah hari ini.

Maka saya biarkan mimpi-mimpi saya berkelana, dan saya izinkan alam mengeliminasi setiap mimpi yang saya bangun. Karena setiap satu mimpi mati, hari baru akan menciptakan mimpi yg lain.

Mari saya perjelas tentang keabu-abuan saya malam ini. Saya akan berhenti merisaukan apa yang akan terjadi dengan saya di masa depan dan cukup sedikit beimajinasi diimbangi dengan melakukan apa yg terbaik yang bisa saya lakukan.

Sepertinya itu cukup membuat hati saya tenang. Dan membuat mata saya semakin berat.

Night all.. ^^

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!