Sabtu, 12 November 2011

Melihat Lebih Dekat

Saya mulai frustasi dengan sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah Indonesia. Benar kata seorang guru senior yang saya ikuti dg akun twitter @gurukreatif. Beliau menyampaikan jika para guru dikumpulkan dan diberi hak suara untuk menyusun kurikulum, pasti hasilnya tidak carut marut seperti ini.

Saat masih berstatus mahasiswa, saya begitu kagum dengan kurikulum Indonesia. Teringat ketika salah seorang dosen saya memberi mata kuliah Crurriculum and Development. Begitu banyak yang harus dikuasai dan dipersiapkan seorang guru. Mulai dari standart isi, KTSP, RPP, prota, promes dan banyak lagi yang lain. Idealisme saya yang sedang tinggi-tingginya menyerap mentah-mentah informasi tersebut. Berpikir dengan mempersiapkan hal-hal diatas saja bisa disebut sebagai guru profesional.

Nyatanya, SAYA SALAH!

Setelah berkecimpung lebih kurang satu tahun mengajar mata pelajaran bahasa Inggris di sebuah Aliyah di kabupaten pasuruan, saya mulai menemukan ketidak cocokan idealisme saya dengan kenyataan di lapangan. Apalah fungsi KD yang mengharuskan siswa menguasai (anggap saja) level 11, jika pada kenyataannya mereka masih berada di level 3. Apa fungsi Prota dan Promes yang harus mencocokkan dengan kurikulum pemerintah jika hanya membuat tidak hanya siswanya yang stress, bahkan juga gurunya?

Hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk berkhianat pada kurikulum. Entah menurut anda saya benar atau salah, tapi yang saya lihat, inilah bagian dari keputus asaan saya menghadapi pemerkosaan pemerintah terhadap generasi bangsa ini. Saya tidak pernah mengajarkan murid saya berlomba-lomba menjadi yang terbaik diantara teman-temannya di pelajaran saya. Mereka hanya harus menjadi yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Saya menegaskan berulang-ulang bahwa saya (dengan sebenar-benarnya) tidak membutuhkan nilai mereka. Yang saya minta hanya mereka berusaha.

Tak jarang saya menemukan murid yg kurang antusias dalam pelajaran saya. Seberapa keras saya berusaha, mereka sepertinya masih sulit dalam menerima. Inilah yang harus diterima para guru di Indonesia. Tidak harus setiap murid pintar disegala jenis mata pelajaran. Kita sendiri sebagai seorang guru, kadang kuat disatu pelajaran dan lemah di yg lainnya. Kenapa kita harus memaksa murid kita melakukan hal yang tidak sanggup kita lakukan?? Ya, kembali lagi, TUNTUTAN KURIKULUM.

Teringat salah seorang murid saya yang bertanya, "Miss, kenapa saya harus belajar Fisika, ketika saya ingin menjadi seorang guru Bahasa Indonesia? Atau "Miss, kenapa saya harus belajar Akuntasi saat saya bercita-cita menjadi seorang, dokter?? Dalam hati saya berpikir, saat sekarang saya menjadi seorang guru bahasa Inggris, ilmu-ilmu eksak seperti gaya newton dalam fisika atau ilmu asam dan basa di kimia, hampir tak saya lihat pengaruhnya dalam hidup saya. Lalu untuk apa? Untuk apa siswa harus belajar 16mata pelajaran dan dituntut untuk menguasai segalanya jika nanti hidup mereka akan mengkrucut ke arah yang mereka suka?

Saya dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki, hanya mampu menjawab. "Inilah bagian proses dalam kehidupan. Kalian akan banyak menjumpai hal2 yang tidak kalian suka dan kalian masih harus melakukannya. Anggap setiap pelajaran yang kalian kurang pahami sebagai tantangan. Esok, ketika kalian benar2 lepas dari bangku sekolah, dan kalian harus berhadapan dengan persoalan yg sama, kalian sudah terbiasa menghadapinya".

Sebagian dari anda mungkin tertawa mendengar jawaban saya. Sungguh sangat klise.

Terus terang saja, saya banyak menutup buku saat saya mengajar, apalagi untuk kelas tahun pertama yang saya ajar. Ketika kurikulum mengharuskan murid saya untuk menguasai Passive Voice, Conditional Sentence, Direct-Indirect Speech dan grammer tingkat tinggi lainnya, saya masih harus berjibaku dengan murid saya yang masih belum tahu apa itu noun, verb, adjective dan part of speech yang lain. Aaargh.. Entah saya harus menyalahkan siapa?dan yang paling sulit, harus memulai dari mana?

Dan akhirnya saya berkejar-kejaran dengan kurikulum. Tapi saya mulai tak peduli. Apalah guna ketuntasan kurikulum jika murid saya tidak bs merubah paradigmanya tentang bidang studi yang saya ajar? Apalah artinya kurikulum jika mereka tidak berproses? Apalah artinya jika mereka tidak berkembang? Karena menurut saya, proses berkembang lebih penting dr proses mendapatkan nilai.

Mungkin para beliau yang mencetak kurikulum begitu terobsesi dengan istilah, "murid adalah kertas yang kosong", sehingga beliau yang terhormat merasa harus menjejalkan semua ilmu kepada generasi bangsa hingga ketas kosong berubah menjadi kertas penuh warna. Ya, begitulah pendidikan tradisional. Sayangnya, murid-murid yang kita hadapi bukanlah selembar kertas. Tapi sebuah jiwa yang mempunyai rasa, asa dan cita-cita yang berbeda. Merubah paradigma mewarnai, dengan memunculkan warna yang sebenarnya, harus bisa kita lakukan. Tugas seorang pendidik bukan lagi hanya mentransfer ilmu, apalagi sesuai dengan hirarki yang dibentuk oleh pemerintah. Pendidik dengan dibantu oleh pemerintah harusnya bisa menjadi fasilitator dan inpirator bagi para penerus bangsa untuk memunculkan apa warna mereka sesungguhnya. Dan generalisasi dan standarisasi pada kurikulum kita saat ini, nyatanya banyak berhasil mencetak genius2 karbitan yang mempunyai nilai sempurna disekolah dan kesulitan mencari kerja.

Saya tahu, tidak semua orang sependapat dengan cara berpikir saya, ataupun cara saya dalam mendidik siswa saya. Sayapun tahu, saya tidak akan merubah apapun jika saya hanya diam dan mengutuk pemerintah atas keputusasaan saya. Untuk itu, saya mengajak para pembaca semua untuk sedikit meluangkan waktu untuk melihat dengan jernih potensi-potensi yg ada pada diri siswa. Hentikan pelabelan yang buruk pada mereka hanya karena ketidakmampuan kita melihat mereka lebih dekat. Karena kita semua tidak tahu, siapa yang sedang kita ajar. Berhati-hatilah, karena mungkin orang yang kita sebut "Bodoh", "Pembangkang", dan "Pemalas", akan menjadi pemimpin kita di masa depan.

Wassalam
-nina-
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

2 komentar:

nice post.. good job! the real curriculum is school of live. you will never know what subject each day.. :)

Kurikulum memang seperti sebuah kurungan bagi sebagian guru, apalagi bila diharuskan membuat persiapan mengajar yang numpuk (saya juga merasa spt itu).
Padahal, ada hal yg lebih penting yang harus dilakukan seorang guru, tanpa hanya fokus menyiapkan perangkat mengajar.
Pada waktu MGMP Bahasa Inggris Kab. Pasuruan sy juga sering menekankan pada rekan2 bahwa melayani siswa dengan penuh hati dan meladeni pertanyaan mereka yang eager dalam mencari jawaban dari hal yang mereka tdk tahu merupakan hal yang sangat menyenangkan walaupun harus meninggalkan rencana pembelajaran yang sdh tersusun dlm RPP.
Alhamdulillah, Pengawas Sekolah sy juga org yg bijak yang tidak pernah men-judge jelek seorang guru yang 'tidak peduli' pada perangkat mengajar........

Posting Komentar

​​​‎☆ †h@nk γ☺u ☆