This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 17 Juni 2012

Merindu

Aku tersayat tiap jarum berdetak. Mengoyak asa yang mengharu biru menusuk kalbuku yang mulai beku. Dan sebelum detaknya menjadi penanda kehidupan yang telah mematikanku, aku tersungkur khidmat dalam alunan kidung syahdu yang melenakan. Yang membuka tabir-tabir kesadaran baru yang sebelumnya aku tutupi rapat-rapat. Getir aku merasakan akalku mulai berdistorsi seenaknya sendiri. Ah, biarlah... Dia melaju seenaknya. Karena hatiku sepertinya sudah putus urat dengan akalku. Maka biarlah, kukunci mati rinduku. Biar tetap kurasakan indah, mencintamu yang terindah.

Sabtu, 16 Juni 2012

Hujan di Langit Jakarta

Pagi ini begitu menakjubkan. Aku buka jendela kamar-ku yang berselimut kabut. Sangat mengherankan menemukan kabut di belantaran jakarta. Titik-titik embun bertengger pada dedaunan yang hijau. Udara segar menyergap-ku saat membuka pintu balkon. Tuhan sedang mengajak-ku bercanda. Bahkan aku bisa melihat semburat-semburat pelangi di langit jakarta yang cerah.

Air menghujani jakarta tadi malam. Banyak sekali yang aku dalami dari palung-palung dalam disituasi yang begitu biru. Aku menelisik setiap maksud hati. Tentang hidup, tentang mati, tentang sebuah nyawa dan proses melewatinya. Aku bertanya tentang alam yang mendukung setiap langkah-ku. Seakan lewatnya lah doa-doa ku dikabulkan. Aku mempertanyakan malam yang dengan kerelaan hati bersepakat dengan mendung. Mengorbankan pijar-pijar bintangnya tersembunyi dalam balutan kelam.

Hujan, membantu-ku juga mendinginkan hati ku. Memberi kesejukan yang tiada tara dalam sebuah kerinduan yang mistis. Aku harap, aku juga bisa menemukan hujan di saat kemarau sedang hinggap menusuk-nusuk setiap malam. Hujanku akan segera datang, bukankah begitu, sayang...
Dan pelanginya akan segera merona di wajah kita yang sedang terbius rindu...

Engkaulah hujanku....

Selasa, 05 Juni 2012

Distorsi Yakin


Ada seorang teman yang tiba-tiba bertanya, apa itu keyakinan? Bagaimana kah kita dikatakan yakin? Apakah wujudnya dan bagaimanakah membentuknya agar membuat sebuah pola dalam diri kita dan kita bisa menjiwainya?

Pertanyaan tersebut mungkin sebuah pertanyaan yang wajar di kehidupan kita yang segala maknanya semakin absurd. “Yakin”, seperti kata-kata lain yang bernasib sama, juga mengalami pendistorsian yang dimaksudkan agar tetap sejalan dengan cara pelaku medefinisikannya. Jika menyinggung kata itu, seakan jarring-jaring di akal kita langsung menangkap makna ‘agama’. Keyakinan adalah Agama. Agama kita didefinisikan seberapa besar keyakinan kita. Begitukah?? Bila benar demikian, maka pertanyaan selanjutnya adalah, “apa itu agama?”. 

Banyak dari kita yang menyebut bahwa agama adalah petunjuk hidup yang menyambungkan manusia dengan Tuhan. Agama adalah tata surya sekaligus berupa partikel ataupun molekul kecil. Agama mengejahwantai semesta. Agama di definisikan begitu suci dan megah. Maka ketika kita menyandingkannya dengan keyakinan, maka keyakinan menjadi sebuah barang mahal untuk diresapi. Dogma-dogma dalam sosial dan budaya kita meminta kita tunduk dan patuh terhadap sesuatu yang disebut agama. Tanpa boleh kita belajar meyakini dengan cara kita, dengan kedalaman proses berpikir kita, dengan perlahan-lahan perkembangan ilmu kita. Kita hanya boleh yakin dan percaya. Entah itu dengan cara melakukan yang di syari’atkan, ataupun melakukan yang disunnahkan. Hanya boleh dilakukan. Tanpa boleh banyak cingcong. Titik.

Jika akhirnya ada yang bertanya pada kita, apakah kamu yakin dengan agama-mu, maka kita dengan lantang-nya akan menjawab “Aku Yakin!!”. Tapi benarkah? Tidak bermaksud menyepelekan agamanya, yang digaris bawahi di sini adalah manusia-manusianya. Benarkah yakin? Benarkah percaya? Benarkah benar-benar mengimani? Atau kepercayaan dan keimanan kita tak ubahnya ibu dan bapak yang mengaku mewariskan darahnya ke kita. Hanya karena kita tinggal seatap, hanya karena kita dilimpahi kasih sayang, hanya karena kita mendapat pengakuan atas keberadaan kita, Dan kita sudah begitu yakin dengan asal-usul kita. Begitu piciknya kah sebuah keyakinan, yang jikalau begitu, begitu mudah kita merekayasanya?

Pada kenyataannya, keyakinan dalam bentuk apapun dibentuk dari sebuah keraguan. Tanpa adanya ragu tidaklah mungkin ada yakin. Bagaimana bisa kita percaya pada kenyang, jika kita tidak pernah merasa lapar? Tidak mungkin ada kotor, jika sebelumnya tidak ada bersih. Yakin, tidak serta merta tercipta. Begitupulah agama. Jika kita meyakini dan mempercayainya hanya karena proses pewarisan, maka sebenarnya yang kita yakini bukan Tuhan maupun agamanya, tapi pembawa warisanlah yang sudah kita yakini. Jadi masihkah mensabda sebagai orang yakin??

Yakin dibentuk oleh keragu-raguan yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Dari situlah kita akan memperoleh jawaban-jawaban yang mengukuhkan hati kita menjadi yakin. Maka kembali ke diri kita masing-masing, sudahkah kita meragukan tentang suatu yang begitu kita percayai? Dan dengan pikiran netral kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam hingga kita berproses dalam menemukan jawaban-jawabannya? Jika belum, kita perlu mempertanyakan lagi keyakinan kita. Jika sudah, terus-meneruslah bertanya dan mempertebal keyakinan. Karena sesungguhnya, yakin itu berdenyut. Dia hidup. Dan oleh karena itu, dia bisa pelan-pelan sekarat, dan mati. Dan dari kematiannya, akan lahir sebuah anak keyakinan baru. Sesungguhnya pertanyaan lahir dari sebuah akal yang diberikan Tuhan. Sesungguhnya, dari anjuran membaca saja, Tuhan ingin kita melalui proses pencarian yang akan membentuk keyakinan. Jadi sahabat, selamat beryakin-yakin! Karena Yakinmu, sesungguhnya adalah Bola Matamu.

Pare, 24 Mei 2012

Minggu, 03 Juni 2012

Dear Masa Depan....

Dear diriku di masa depan,

Hai, bagaimana kabarnya? Apakah kau di sana sebaik aku di masa ini? Aku harap kau semakin baik dan aku juga berharap aku tidak membuat keputusan yang menyulitkanmu di masa depan.

Apakah kau tahu, dirimu disaat ini sedang banyak mengalami tantangan-tantangan hidup yang sudah diramalkan oleh dirimu di masa lalu. Dan aku yang sekarang, sedang semangat-semangatnya belajar tentang arti kehidupan, tentang bagaimana sebuah proses dapat bertahan, dan bagaimana tetap tegar di masa-masa paling sulit sekalipun. Dirimu di masa ini juga sedang banyak bergelut dengan hal-hal yang pasti akan mempengaruhimu di masa depan. tapi engkau jangan sekali pun kawatir, karena aku pasti melakukan sesuatu, sesuai dengan nilai-nilai yang telah kita sepakati. Bukankah begitu?

Aku ingin, nanti saat kau membaca ini, tantangan-tantangan yang tengah aku hadapi sekarang sudah menjadi hal yang kau syukuri. Aku berharap kau akan menemukan berkah dan pelajaran yang pasti akan sangat berarti buat kehidupan kita kelak.

Aku menyayangimu... untuk itulah aku bertahan sampai sejauh ini...
Suatu hari nanti, jika kau menemukan tantangan-tantangan baru, bertahanlah... hadapilah... berjuanglah...
Kau akan banyak menemukan hal yang akan membuatmu tersenyum lebar....

Percayalah padaku...
Kau akan membuktikannya sendiri nanti...

Dari yang teramat menyayangimu...

Nina -2012-