Ada seorang teman yang tiba-tiba bertanya, apa itu
keyakinan? Bagaimana kah kita dikatakan yakin? Apakah wujudnya dan bagaimanakah
membentuknya agar membuat sebuah pola dalam diri kita dan kita bisa
menjiwainya?
Pertanyaan tersebut mungkin sebuah pertanyaan yang
wajar di kehidupan kita yang segala maknanya semakin absurd. “Yakin”, seperti
kata-kata lain yang bernasib sama, juga mengalami pendistorsian yang
dimaksudkan agar tetap sejalan dengan cara pelaku medefinisikannya. Jika
menyinggung kata itu, seakan jarring-jaring di akal kita langsung menangkap
makna ‘agama’. Keyakinan adalah Agama. Agama kita didefinisikan seberapa besar
keyakinan kita. Begitukah?? Bila benar demikian, maka pertanyaan selanjutnya
adalah, “apa itu agama?”.
Banyak dari kita yang menyebut bahwa agama adalah
petunjuk hidup yang menyambungkan manusia dengan Tuhan. Agama adalah tata surya
sekaligus berupa partikel ataupun molekul kecil. Agama mengejahwantai semesta.
Agama di definisikan begitu suci dan megah. Maka ketika kita menyandingkannya
dengan keyakinan, maka keyakinan menjadi sebuah barang mahal untuk diresapi.
Dogma-dogma dalam sosial dan budaya kita meminta kita tunduk dan patuh terhadap
sesuatu yang disebut agama. Tanpa boleh kita belajar meyakini dengan cara kita,
dengan kedalaman proses berpikir kita, dengan perlahan-lahan perkembangan ilmu
kita. Kita hanya boleh yakin dan percaya. Entah itu dengan cara melakukan yang
di syari’atkan, ataupun melakukan yang disunnahkan. Hanya boleh dilakukan.
Tanpa boleh banyak cingcong. Titik.
Jika akhirnya ada yang bertanya pada kita, apakah
kamu yakin dengan agama-mu, maka kita dengan lantang-nya akan menjawab “Aku
Yakin!!”. Tapi benarkah? Tidak bermaksud menyepelekan agamanya, yang digaris
bawahi di sini adalah manusia-manusianya. Benarkah yakin? Benarkah percaya?
Benarkah benar-benar mengimani? Atau kepercayaan dan keimanan kita tak ubahnya
ibu dan bapak yang mengaku mewariskan darahnya ke kita. Hanya karena kita
tinggal seatap, hanya karena kita dilimpahi kasih sayang, hanya karena kita
mendapat pengakuan atas keberadaan kita, Dan kita sudah begitu yakin dengan
asal-usul kita. Begitu piciknya kah sebuah keyakinan, yang jikalau begitu, begitu
mudah kita merekayasanya?
Pada kenyataannya, keyakinan dalam bentuk apapun
dibentuk dari sebuah keraguan. Tanpa adanya ragu tidaklah mungkin ada yakin.
Bagaimana bisa kita percaya pada kenyang, jika kita tidak pernah merasa lapar?
Tidak mungkin ada kotor, jika sebelumnya tidak ada bersih. Yakin, tidak serta
merta tercipta. Begitupulah agama. Jika kita meyakini dan mempercayainya hanya
karena proses pewarisan, maka sebenarnya yang kita yakini bukan Tuhan maupun
agamanya, tapi pembawa warisanlah yang sudah kita yakini. Jadi masihkah
mensabda sebagai orang yakin??
Yakin dibentuk oleh keragu-raguan yang menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan. Dari situlah kita akan memperoleh jawaban-jawaban yang
mengukuhkan hati kita menjadi yakin. Maka kembali ke diri kita masing-masing,
sudahkah kita meragukan tentang suatu yang begitu kita percayai? Dan dengan
pikiran netral kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam hingga kita
berproses dalam menemukan jawaban-jawabannya? Jika belum, kita perlu
mempertanyakan lagi keyakinan kita. Jika sudah, terus-meneruslah bertanya dan
mempertebal keyakinan. Karena sesungguhnya, yakin itu berdenyut. Dia hidup. Dan
oleh karena itu, dia bisa pelan-pelan sekarat, dan mati. Dan dari kematiannya,
akan lahir sebuah anak keyakinan baru. Sesungguhnya pertanyaan lahir dari
sebuah akal yang diberikan Tuhan. Sesungguhnya, dari anjuran membaca saja,
Tuhan ingin kita melalui proses pencarian yang akan membentuk keyakinan. Jadi
sahabat, selamat beryakin-yakin! Karena Yakinmu, sesungguhnya adalah Bola Matamu.
Pare, 24 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar
☆ †h@nk γ☺u ☆